Opini- Ketika Kata Maaf dari Developer Game Sudah Tak Berarti Lagi
Maaf dari Developer Game – Jika ada satu hal yang saya rindukan dari game zaman dulu, ia adalah game dirilis secara final. Tidak ada “day-1 patch“, tidak ada post-launch update, tidak ada hotfix dan sebagainya. Karena dulu tidak ada infrastruktur online atau juga tidak seleluasa sekarang, hal ini membuat developer ingin benar-benar pastikan game rilis dalam kondisi sesempurna mungkin.
Memang bug dan glitch tidak dapat dihindari di software apapun, namun tampaknya developer zaman dulu benar-benar manfaatkan divisi QA mereka untuk memastikan game tidak ada masalah serius yang dapat mempengaruhi resepsi game di mata kritikus dan juga gamer.
Perkembangan teknologi sekarang membawa banyak hal positif terhadap gaming, tetapi semakin canggih teknologi, justru semakin rentan masalah muncul pada game yang baru rilis.
Ketika Kata Maaf dari Developer Game Sudah Tak Berarti Lagi
Pada tahun 2023 ini, banyak sekali game dirilis dalam kondisi yang jauh dari kata “playable“. Beberapa mengalami masalah performa bahkan di hardware terbaik, proses caching begitu lama, optimisasi buruk dan terlalu berpatokan pada upscaling AI, atau bahkan tidak bisa dimainkan sama sekali.
Apabila terjadi pada satu atau dua game, mungkin hal ini tidak begitu menjadi masalah. Namun masalah serupa terjadi di hampir semua game skala AAA yang rilis mulai dari Star Wars Jedi: Survivor, The Last of Us PC, The Callisto Protocol, Forspoken, Hogwarts Legacy, dan lain-lain.
Ujung-ujungnya, developer atau juga publisher membagikan pengumuman permintaan maaf dengan deretan corporate jargon seperti “tidak sesuai kualitas [nama studio]”, “kami berjanji akan perbaiki lewat post-launch“, “kami begitu peduli dengan pengalaman bermain gamer,” dan tentu saja “maaf atas ketidaknyamanan Anda.”
Saking parah dan seringnya permohonan maaf ini terjadi dalam 5 bulan terakhir, Linus Tech Tips ikut muak dan membuat parodi permintaan maaf mereka sendiri.
Game kelas AAA dirilis dengan kondisi yang stabil menjadi sebuah fenomena langka beberapa tahun terakhir. Developer terus merilis game dengan seadanya dan berharap gamer tidak memerhatikan selagi mereka memperbaikinya lewat update post-launch. Ini menjadi hal yang mengkhawatirkan karena developer secara tidak langsung tidak peduli lagi dengan kualitas game mereka selama tim marketing berhasil membuat gamer membeli game tersebut di hari pertama rilis.
Kebiasaan ini menjadi bukti kalau studio besar sekarang lebih mementingkan para investor dan shareholder mereka yang ingin game dirilis secepat mungkin dan profit segera jalan, ketimbang gamer yang menjadi alasan utama perusahaan mereka masih berdiri sampai saat ini.
Kembali dengan Star Wars Jedi: Survivor dan juga The Last of Us di PC. Kedua game tersebut rilis dengan masalah performa yang begitu serius. Kedua game dibuat ngos-ngosan di PC dengan spesifikasi terbaik seperti Nvidia RTX 4090 dan Intel i9 generasi 13. Dengan kombinasi hardware yang berkali-kali lipat lebih kuat dari PS5 dan juga Xbox Series X dan juga memakan biaya ribuan dolar, game hanya jalan di bawah 60 FPS pada awal rilis.
Tak mungkin, mustahil bahkan mereka tidak menyadari masalah serius itu. Apakah game tidak dites terlebih dahulu sehari sebelum rilis, atau mereka tahu kalau game sebenarnya belum rampung tetapi tak mampu untuk menundanya karena takut kehilangan hype dan antisipasi dari gamer?
Tanpa mengetahui apa yang terjadi di balik layar, tampaknya alasan kedua menjadi kemungkinan besar terjadi. Kenapa mengambil resiko merusak hype sebuah dan disemprot para shareholder ketika kamu bisa rilis game sesuai jadwal dan bilang aja maaf dan janji perbaiki nanti?
Gamer pasti mengerti kok, nanti kalau kondisinya sudah “sembuh” dan stabil, mereka bakal kembali memuji game dan ramai-ramai membelinya karena tahu sudah tidak serusak dulu. Yang penting penjualan di minggu pertama teramankan dan para shareholder puas. Strategi ini berhasil di Cyberpunk 2077, No Man’s Sky, The Elder Scrolls Online, dan game lainnya, seharusnya bisa terjadi lagi kan?
Tak Sepenuhnya Salah Developer
Namun saya juga tidak bisa salahkan sepenuhnya fenomena ini pada developer saja. Karyawan di studio game sering diperkerjakan dengan ekstrim dengan deadline yang terkadang tidak realistis. Sering muncul kabar apabila mereka dipaksa lembur panjang untuk mencapai deadline tersebut.
Pandemi global 3 tahun lalu juga memperburuk kondisi dengan banyak proyek sempat diperkerjakan dari rumah masing-masing yang di mana komunikasi hanya dilakukan secara jauh yang tidak lah seefektif komunikasi tatap muka.
Tetapi lagi-lagi, ketika game diproduksi dengan skala dana AAA, ditambah lagi banyak publisher mendorong kenaikan harga game menjadi $70 di tengah kondisi ekonomi global yang memburuk, gamer mengharapkan lebih dari produk setengah jadi yang harus tunggu beberapa bulan biar bisa matang.
Seperti kata Kratos di pembuka God of War (2018), do not be sorry, be better. Para eksekutif perusahaan perlu memasang deadline realistis dan memikirkan karyawannya. Para developer perlu memastikan produk mereka memang sudah siap sebelum jadwal rilis, dan gamer perlu lebih selektif dan tidak membeli semua game di hari pertama karena termakan marketing dan FOMO.
Video game juga tidak sebatas pada pasar AAA saja, banyak game berkualitas muncul dari studio kecil. Maka ketika industri AAA terus mengecewakan, gaming masih terus menyenangkan karena eksistensi developer kecil lainnya.
Baca pula informasi Gamebrott lainnya tentang G-list beserta dengan kabar-kabar menarik lainnya seputar dunia video game dari saya, Muhammad Maulana. For further information and other inquiries, you can contact us via author