[Opini] Kenapa Game Free to Play Pengeluarannya Malah Lebih Boros Dibanding Beli Game Berbayar
Kenapa game free to play malah lebih boros – Tahun menunjukkan angka 2010, ketika game gacha pertama kali hadir di Jepang, orang-orang secara awam masih belum kenal dengan istilah collectibles games yang berisinya karakter (waifu terutama).
Hanya saja setelah berjalan satu dekade lebih, kita sama-sama lihat kalau pasar game mobile sudah dibanjiri oleh game gacha waifu simulator.
Kebanyakan diantaranya (kalau tidak semua) adalah game free to play. Selain menurut statistik game sejenis itu memang menguntungkan. Peminat dari jenis game ini memang jumlahnya sangat luar biasa. Ketika awal tahun 2000an, kita mungkin mengenal game MMO yang juga F2P.
Daftar isi
Kenapa Game Free to Play Malah Lebih Boros Dibanding Beli Game Berbayar
Game MMO kebanyakan berasal dari Korea Selatan, maka bisa dipastikan juga sistem monetisasinya pun sama-sama saja, mengikuti aturan di negeri Ginseng tersebut.
Barat juga tidak mau kalah dengan berbagai game live service gratis untuk dimainkan seperti Apex Legends, DOTA2, Valorant, bahkan CSGO yang awalnya berbayar kini jadi gratis untuk mengimbangi pasar yang dominan free to play.
Hanya saja yang mau digarisbawahi, kenapa game free-to-play yang dilihat dari namanya seharusnya pengguna bisa nikmati secara gratis malah jatuhnya lebih boros. Bila dibandingkan dengan kita membeli game berbayar yang kisaran harganya bisa 40, 60, sampai 70 Dollar untuk sebiji game.
Ini bisa jadi pembahasan menarik yang ternyata menguak banyak sekali kekejaman di balik berbagai publisher game sejenis itu.
Sedikit konteks saja, yang dimaksud dengan game F2P adalah sebuah game yang tidak perlu dibeli terlebih dahulu untuk memainkan game tersebut secara utuh, tanpa adanya pembelian di pertengahan permainan, namun tidak menutup kemungkinan adanya sistem monetisasi lainnya.
Dengan definisi tersebut kita sudah bisa lanjut membahas apa saja yang menyebabkan sebuah game yang sejatinya ‘gratis’ tapi malah membuat gamer menghabiskan uang lebih banyak dari membeli game utuh.
Kenapa Game Free-to-Play Punya Sistem yang Predatory?
Alasan yang mungkin kalian terpikirkan adalah soal predatory dimana sistem gacha yang biasa ada di game F2P ini bahkan di beberapa negara dilarang karena terlalu mirip dengan gambling.
Sistem gacha seperti ini memang menyasar pasar untuk gamer kelas sultan yang berani mengeluarkan uang puluhan juta untuk mendapatkan satu karakter atau equip lengkap dengan upgrade-nya.
Hingga secara kasarnya, player yang benar-benar free to play digunakan sebagai marketing berjalan agar game tersebut masih ramai pemainnya, membuat target utama mereka yang mungkin cuma beberapa persen itu punya niat untuk terus main.
Memang terdengar kasar, tapi taktik ini tidak hanya digunakan di game gacha, tapi sudah ada sejak dulu seperti game warnet. Ambil saja contoh game shooter warnet yang populer, gamenya memang gratis untuk dimainkan.
Tapi untuk dapatkan senjata yang bagus dengan stat terbaik, kalian harus menyewa dengan durasi hitungan hari.
Memang game tersebut bisa dimainkan, hanya saja untuk sekelas game PVP, praktik ini sama saja memaksa player-nya membayar karena tidak ada pilihan lain kalau mau tetap imbang dari player lain.
Singkatnya publisher menjual kasta dalam game yang dikemas dalam item in–game. Semakin kaya anda, semakin tinggi kasta yang bisa kalian sandang.
Beralih ke game gacha lagi, kebanyakan dari game sekarang mau dari negara manapun, China, Jepang, Korea Selatan, atau barat sama-sama aja menerapkan sistem yang sudah ada.
Tidak jarang juga sistem antar game mirip-mirip kalau tidak mau dikatakan sama persis. Tujuan mereka ya hanya satu, profit sebesar-besarnya dengan effort seminim mungkin.
Hei, kalau gamenya seru, ya tidak apa-apa, dong! mungkin itu kata beberapa gamer. Sebenarnya memang urusan boleh atau tidaknya itu bukan urusan kita. Tapi, tentu kita mau tahu alasan dibalik kenapa sistem game seperti ini jadi lumrah.
Bangun Hype dengan Eksekusi yang Wah
Hal pertama yang dilakukan publisher biasanya adalah membangun hype. Animasi gacha atau buka lootbox dibuat semeriah mungkin. Dengan begitu, player akan merasa kalau yang mereka dapatkan itu rewarding. Terlebih soal animasi gacha yang dibuat berbeda warna ketika mendapatkan item/karakter dengan rarity tertentu.
Ditambah lagi alasan karakter/item limited semakin membuat pemainnya jadi FOMO (fear of missing out; takut ketinggalan) dan harus mendapatkannya atau hilang selamanya.
Hingga makin banyak gamer yang tertarik untuk gacha atau membuka lootbox karena tahu unit yang akan mereka dapatkan itu memang incaran semua orang.
Alasan seperti itulah yang membuat orang bermain game free to play — dengan mindset berani mengeluarkan uang tentunya — berujung malah lebih boros daripada dia membeli game full 60 Dollar namun sekali beli bisa menikmati gamenya sampai tamat.
Dipaksa untuk Selalu Ikuti Meta
Kedua, biasanya adalah kesulitan yang dibuat-buat. Ibarat menjualkan penawar untuk racun yang yang kalian ciptakan sendiri. Biasanya publisher juga menciptakan sebuah item/karakter yang kelak nantinya akan sangat berguna di konten saat itu. Tapi setelah konten patch mendatang? Tentu akan ada karakter/item baru lagi untuk menggantikan.
Otomatis mereka yang punya uang dan kemauan dalam berkompetisi akan berusaha mendapatkan item/karakter tersebut. Kita sebagai sisanya? Berhasil dapat atau gagal dalam mencoba, itu saja.
Konten Tambahan Bisa Jadi Cuan juga
Bagi mereka yang tidak menggunakan uang asli untuk gacha pun, publisher masih ada cara lain untuk menguras isi dompet gamer. Mulai dari layanan subskripsi bulan seperti battlepass atau monthly cumulative reward.
Belum lagi berbagai progress in–game yang sengaja dihambat dan dijual pula item untuk melanjutkan progress tersebut. Ada saja cara mereka untuk memonetisasi dari segala aspek.
Belum lagi game yang merilis konten DLC berbayar atau update terpisah yang mungkin tidak diwajibkan. Walau tidak jarang gratis, beberapa game juga mencari cuan lewat cara seperti ini. Menawarkan base game secara gratis namun konten aslinya itu ada di DLC yang harganya mungkin bisa jutaan.
Memang sistem seperti ini tidak hanya ada di game F2P. Kebanyakan game berbayar juga sudah menetapkan sistem yang sama. Jadi, setidaknya alasan ini masih bisa sedikit dimaklumi untuk sekarang.
Hingga kadang istilah micro–transaction itu bagian mananya yang micro, penulis pun tidak paham sampai sekarang. Kalau kalian, brott? Sudah mengeluarkan berapa banyak uang untuk game F2P?
Baca juga informasi menarik Gamebrott lainnya terkait Game Mobile atau artikel lainnya dari Andi. For further information and other inquiries, you can contact us via author.